Minggu, 10 Januari 2010

"Ternyata, Panglima adalah Sebuah Kata"

Panglima adalah pemimpin. Panglima adalah orang yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam sebuah laskar perang. Panglima adalah orang yang mempunyai hak untuk mengatur dan memerintah pasukannya, yang merupakan bawahannya. Panglima adalah seorang yang disegani para prajurit atau pasukan perang. Paglima adalah orang yang menyusun strategi perang utuk melawan musuh.
Panglima dapat dimaknai bermacam-macam. Dapat dimaknai berdasarkan kedudukannya, sifatnya, bentuknya, dan sebagainya. Setiap kata atau istilah dapat didefinisikan berdasrekan ciri atau keadaan yang melekat padanya. Misalkan kita mendefinisikan Plato. Plato adalah seorang ahli filsafat. Plato adalah muridnya Socrates. Plato adalah tokoh filsafat dari Yunani. Plato adalah tokoh filsafat yang lahir di Athena pada tahun 427 SM dan meninggal di sana pada tahun 347 SM pada usia 80 tahun. Dan bemacam-macam definisi lain yang dapat kita ungkapkan mengenai Plato.
Namun, tanpa memandang siapa itu panglima, apa kedudukannya, bagaimana sifatnya, bentuknya, dan sebagainya. Dari susdut pandang yang lain kita dapat mendefinisikan bahwa ternyata, panglima adalah sebuah kata. Dari sudut pandang lain, kita juga dapat mendefinisikan bahwa Plato adalah sebuah kata. Lebih luas lagi bahwa Adalah adalah sebuah kata. Sebuah adalah sebuah kata. Sampai pada akhirnya ”Kata” sendiri adalah sebuah kata. Dan lebih luas lagi kita akan menemukan bahwa setiap yang kita ucapkan atau tuliskan merupakan kata, karena kata adalah penyusun dari kalimat. Kita mengungkapkan sesuatu dengan kalimat. Pernyataan merupakan kalimat. Sehingga betapa pentingnya kata hingga mampu menganyam bahasa. Berawal dari kata, mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan mampu menciptakan komunikasi antar manusia.


Panglima adalah sebuah kata
Panglima didefinisikan sebagai sebuah kata. Definisi merupakan sebuah penggambaran atau penjelasan dari suatu kata atau istilah. Contoh lain misalkan dalam kalimat:
Jakarta adalah ibukota negara Indonesia
Dari kalimat tersebut, Jakarta diartikan sebagai ibukota dari negara Indonesia. Berdasarkan kalimat tersebut, kita dapat membentuk kalimat lain yang sama maknanya dengan kalimat tersebut, yaitu : Ibukota negara Indonesia adalah Jakarta.
Berdasarkan penjelasan tersebut, berarti kita juga dapat membuat kalimat lain dari ”panglima adalah sebuah kata” menjadi ”Kata adalah panglima”. Dan dapat diartikan atau dimaknai bahwa, ternyata kalimat mampu menjadi panglima.
Sebenarnya yang telah kita lakukan tersebut merupakan proses penalaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa dan berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun seperti dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri. Jadi, penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai ”pengkajian untuk berpikir secara sahih”.


Referensi:
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum, dari Metodologi sampai teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia
Jujun S. Suryasumantri,2002. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Tokoh Filsafat Rasionalisme: Blaise Pascal (1623-1662)

A.Riwayat Hidup Blaise Pascal
Blaise Pascal adalah seorang jenius berkebangsaan Perancis. Ia lahir pada tahun 1623 di Clermont-Ferrand, Prancis. Ayahnya seorang pengacara, yang membawa keluarganya ke Paris demi memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak-anaknya untuk menikmati pendidikan. Pascal sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan formal di universitas. Ia diajari dan dididik oleh ayahnya sendiri, orang yanng mempunyai pengetahuan luas. Pada umur 12 tahun, Pascal menciptakan mesin hitung untuk membantu ayahnya. Lalu ia merancang bangunan matematis bersegi enam (hexagram), menemukan prinsip kerja barometer, membuat sistem kerja arloji, ikut menentukan sistem transportasi bawah tanah kota Paris, dan lain-lain.
Semula Pascal tidak meminati hal-hal keagamaan, tetapi kemudian ia cenderung meminati hidup mistik. Pada usia 23 tahun, ia mengalami pertobatan, lalu meninggalkan cara hidupnya yang lama sebagai ilmuwan, menjalani hidup dengan doa dan puasa, dan menggabungkan diri dengan hidup bersama komunitas biara Port-Royal, tempat saudarinya Jacqueline menjadi biarawati. Komunitas ini adalah pengikut Jansenisme (sebuah aliran bid’ah dalam gereja Katolik) dan berinspirasi pada ajaran Cornelius Otto Jansen (1585-1638), pendirinya yang antara lain mengajarkan bahwa karena dosa asal, manusia itu sangat jahat. Maka yang manusia perlukan adalah bagi keselamatannya hanyalah iman, yang Jansen pertentangkan dengan rasio. Ajaran ini tentu saja dicurigai lebih dekat ke ajaran Protestan ala Luther yag juga melihat manusia rusak pada kodratnya sehingga ia hanya bisa diselamatkan oleh rahmat Tuhan semata.
Tahun 1661 Pascal didamaikan dengan Gereja Katolik resmi. Kira-kira satu tahun sesudahnya 9 Agustus 1662, Pascal meninggal dunia dalam usia 39 tahun. Setelah menerima sakramen pengurapan dan komuni untuk orang sakit. Apa penyebab kematiannya serba tidak jelas. Hanya, semua orang tahu: selama hidupnya, Pascal menjalani hidup askese yang ekstrem dan sering sakit-sakitan lantaran tertular penyakit dari orang-orang miskin yang diterima dan dirawat olehnya secara pribadi di rumahnya (untuk mereka itu Pascal menyumbangkan seluruh harta bendanya). Kata-katanya yang terakhir “Semoga Allah tidak akan pernah meninggalkanku.”

B.Pemikiran-pemikiran Blaise Pascal
1.Akal dan Hati
Blaise Pascal adalah salah satu tokoh filsafat modern yang menganut aliran Rasionalisme. Namun dibanding dengan para rasionalis pada zamannya, Pascal punya kecenderungan yang menyimpang. Langsung berhadapan dengan filsafat rasionalistik ala Descartes yang mendominasi pemikiran di Barat, khususnya di Perancis saat itu, pemikiran Blaise Pascal jelas bersifat reaksioner. Pascal yang –seperti Descartes- menyukai ilmu alam dan matematika ini mengkritik Descartes yang mau menerapkan prinsip ilmu pasti dalam berfilsafat atau upaya untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk untuk menjelaskan Tuhan. Menurut Pascal, keseluruhan realitas tidak bisa dijelaskan hanya dengan rasio. Jika itu dilakukan, akibatnya adalah terjadinya banyak hal yang bertentangan, misalnya: problem hubungan jiwa dengan badan sebagaimana dialami oleh Descartes. Dengan kata lain, rasio saja tidak mencukupi untuk memahami segalanya.
Lebih penting dari rasio, menurut Pascal adalah “hati” (le coeur). Dengan rasio, kita hanya mampu memahami kebenaran-kebenaran matematis dan ilmu alam. Namun dengan hati, kita mampu memahami kebenaran-kebenaran yang melampaui semua kebenaran itu, umpamanya pengetahuan tentang Tuhan. Keyakinan ini diungkapkan Pascal dalam satu kalimatnya yang terkenal: “Hati mempunyai alasan-alasan yang dimengerti oleh akal. Orang mengalami hal ini dalam banyak perkara.” Kata “Hati” di sini tidak boleh dipahami sebagai pusat emosi, melainkan pusat aktivitas jiwa manusia terdalam yanng mampu menangkap sesuatu secara intuitif dan spontan; hati adalah inti eksistensi. Kata Pascal: “Kita mengenal kebenaran tidak hanya lewat akal, melainkan juga lewat hati.”
Allah (Tuhan) terutama memakai “hati” untuk mengajar kebenaran-kebenaran yang penting untuk keselamatan kita. Kesadaran diri yang paling dalam dengan demikian tidak terletak pada rasio, melainkan pada hati yang sanggup menerima kenyataan Ilahi. Dalam konfrontasi dengan Descartes, hal ini bisa kita rumuskan dengan cara lain: bukan “cogito ergo sum” (“Aku berpikir, maka aku ada”), melainkan “credo ergo sum” (“Aku percaya, maka aku ada”).

2.Pengakuan Eksistensi Tuhan
Menurut Pascal, manusia memiliki kemauan yang tiada ujung dan penghabisannya. Manusia senantiasa mendamba kebahagiaan yang semakin dan semakin. Sementara, dambaan kebahagiaan sejati yang selalu bertambah-tambah itu tak pernah bisa wujud dalam kehidupan manusia. Manusia tak memiliki kekuatan guna menggapai segala kemauannya; manusia tak sempurna karena kekurangannya ini. Inilah salah satu kontradiksi internal manusia yang meniscayakan pengandaian eksistensi tuhan sebagai Dia Yang Maha Sempurna.
Kontradiksi lainnya dalam diri manusia yakni terkandungnya dua kutub yang saling bertolak-belakang: cinta-diri yang menistakan manusia dan rasio yang meluhurkan manusia. Kontradiksi itu tak berarti pertentangan antara yang irrasional melawan yang rasional. Baik cinta-diri yang diwakili oleh nafsu maupun budi manusia yang diwakili oleh rasio kedua secara dialektis saling jalin-menjalin menghantarkan manusia pada hidup relijiusnya.
“Perang batiniah dari akal budi melawan nafsu-nafsu telah terjadi dan terbagilah dua partai. Yang satu ingin melenyapkan nafsu-nafsu dan menjadi dewa-dewa. Yang lain ingin melenyapkan akal-budi dan menjadi hewan-hewan. Namun, kedua pihak itu tidak mampu untuk melenyapkan baik nafsu-nafsu maupun akal-budi. Akal-budi tetap ada dan menuduh kenistaan dan ketidakadilan  nafsu-nafsu dan mengganggu ketenangan mereka yang menyerahkan diri kepada nafsu-nafsu itu. Dan nafsu-nafsu senantiasa vital juga dalam diri mereka yang  mau melenyapkan nafsu-nafsu itu.”
Agar manusia tak terus-menerus dalam kenistaan cinta-dirinya yang rapuh itu, manusia membutuhkan bantuan atau petunjuk tuhan. Dan petunjuk itu baru didapati manusia ketika si manusia tadi dengan rendah hati mengakui kenistaannya juga mengakui kesempurnaan Tuhan; mengakui eksistensi Tuhan.
Pengakuan eksistensi tuhan, menurut Pascal, adalah pertaruhan (Le Pari) bagi manusia. Budi Hardiman menerangkan: doktrin pengakuan terhadap eksistensi tuhan a la Pascal ini, semata bermotif apologet. Sebab, Pascal ingin memberi penjelasan pada orang-orang skeptis pada zamannya yang mencemooh orang Kristen yang percaya eksistensi tuhan. Para skeptikus itu bertanya, bagaimana eksistensi Tuhan dibuktikan (secara empirik)? Menjawab pertanyaan mereka, Pascal malah menantang—mengajak mereka bertaruh-berjudi. Yang dipertaruhkan adalah eksistensi Tuhan.
Tak ada ruginya bagi manusia mempertaruhkan eksistensi tuhan. Jika Tuhan ada, artinya manusia tadi menang. Sebaliknya, jika Tuhan tak ada, kita tak mengalami kerugian apa pun; tak ada yang hilang dari manusia. Manusia bahkan mendapat keutamaan-keutamaan.
Manusia yang mempercayai adanya Tuhan, tentu akan menuruti apa yang dimaui Tuhan yang telah tertuang jelas pada wahyunya: moralitas normatif teologis. Hidupnya sejalan dengan isi kitab suci. Hidup yang demikian tak membawa kerugian, malah menguntungkan, walau akhirnya kita tahu bahwa tuhan tak ada. Jika Tuhan ada, pelaksanaan moralitas normatif teologis bernilai ganjaran di akhirat kelak pada kehidupan yang abadi.
“Kalau kau percaya (akan adanya Allah), kalau kau menang, kau memenangkan segalanya, kalau kau kalah (ternyata Allah tak ada), kau tak kehilangan apa pun. Jadi, percayalah jika kau dapat.”
Yang dapat dipetik dari Pascal adalah diktum daya rasio yang terbatas. Dan agama, tak mungkin hanya didekati lewat rasio semata. Untuk beragama dibutuhkan Le Coeur, hati; dibutuhkan keyakinan akan eksistensi tuhan. Pendekatan agama dengan rasio semata bisa menimbulkan kedangkalan-kedangkalan pengamalan religius, menimbulkan kelonggaran-kelonggaran moralitas agama.
Penjelasan Pascal terkait kelonggaran moralitas agama itu dapat kita saksikan kini. Namun, baiknya kita berpikir dialektis saja. Tidaklah rasio yang di atas atau hati yang di atas, tapi keduanya, sebagaimana diungkap Pascal, secara dialektis saling jalin-menjalin, saling lengkap-melengkapi, saling butuh-membutuhkan. Keduanya memiliki tugas dan posisinya sendiri-sendiri.
Dengan argumen “pertaruhan” (le pari) ini Pascal ingin menunjukkan bahwa soal kepercayaan kepada Tuhan merupakan hal yang tidak menyangkut rasio saja melainkan keseluruhan eksistensi manusia (kehendak, emosi, daya pertimbangan, dsb). Kepercayaan semacam ini bukan pertama-tama persoalan akal atau rasio (raison), melainkan terlebih soal “hati” (coeur) yang menerima Allah secara pribadi. “Hati” tidak menuntut pembuktian, hal yang biasa dituntut rasio, melainkan kepercayaan. Namun, itu tidak berarti bahwa hati itu irasional atau melawan rasio. Buktinya, kepercayaan manusia dalam kasus “pertaruhan” (le pari) tadi secara rasional bisa diterima dan dipertanggungjawabkan.
Dengan ini, Pascal ingin menegaskan soal iman kepada Tuhan sebagaimana diajarkan dalam agama Kristen (“Allah Ibrahhim, Ishak, Yakub) lebih menyangkut masalah “hati” daripada masalah “rasio”. Maka dari itu, Pascal merasa sanggup menentukan ciri kekristenan yang sejati (Pensées, 269). “Penaklukan akal budi” sebab kemampuan akal budi sangat terbatas untuk bisa memahami keseluruhan realitas, apalagi untuk menangkap kebenaran-kebenaran yang disampaikan Allah demi keselamatan manusia; untuk mencapai tujuan ini, “hati” lebih berperan. “Penggunaan akal budi” sebab kita tidak boleh menganggap remeh rasio –betapa pun terbatas kemampuannya – untuk mencapai pengertian yang tepat tentang realitas.

C.Karya-karya Blaise Pascal
1.Letters Provinciales (1656)
Adalah buku yang merupakan kumpulan surat-surat yang ditujukan kepada provinsial, berisi kritik untuk kalangan Yesuit Kristiani yang menduniawikan-mensekulerkan agama dengan pengotoritasan rasio sehingga di segi moralitas agama, Kristen jadi terlalu longgar.
2.Pensées sur la vérité de la religion Chrétienne (1669)
Buku ini berisi pikiran-pikiran tentang kebenaran agama Masehi. Karya-karya ini sering ditulis pada potongan-potongan kertas jelek. Karya-karya itu dimaksudkan untuk dibaca oleh para skeptik dan rasionalis.
3.On the Conversion of a Sinner (Sur la conversion du pecheur, 1653)
Pascal memberikan garis besar proses pertobatan seseorang. Manusia menyadari bahwa segala hal duniawi akan binasa sedangkan kebaikan Ilahi tidak akan sirna. Oleh karena itu, pencarian akan Allah diawali dengan berbagai aspek penciptaan sampai seseorang menemukan Allah itu sendri. Dalam penemuan akan Allah, manusia akan menyadari bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa. Hal ini akan mendorongnya untuk menyembah-Nya, bersyukur, berusaha menyenangkan-Nya, dan terus memohon petunjuk dari-Nya.
4.Abridgement of the Life of Christ (Abrege de la vie de Jesus-Christ, 1655)
Karya ini memaparkan bahwa manusia tidak dapat menuliskan sejarah suci sampai keempat rasul dianugerahi wahyu untuk melakukannya. Suatu kronologi yang disusun sebaik nubuatan akan Kristus turut disertakan dalam karya ini.
5.On the Comparison Between the Christians of Early Times and Those of Today (Comparaison des chretiens des premiers temps avec ceux d'aujourd'hui, 1657)
Pascal menyatakan bahwa kualitas orang-orang Kristen kontemporer lebih rendah daripada orang-orang Kristen pada abad mula-mula. Ia mengemukakan alasannya, yaitu bahwa orang-orang Kristen kontemporer dibaptis ketika masih anak-anak dan tidak menerima pengajaran rohani dan rasa menyesal akan dosa yang dibutuhkan dalam baptisan pada masa kekristenan awal. Tanpa pengajaran seperti ini, orang-orang percaya pada masa ini tidak akan pernah sungguh-sungguh melepaskan dunia.
6.On the Geometrical Mind (De l'Esprit geometrique, 1658)
Bagian pertama esai ini menggambarkan bagaimana geometri terdiri dari definisi akan segala hal dan bagaimana manusia begitu direndahkan oleh posisinya dalam dunia yang sedemikian luas, menurut jumlah dan pergerakannya. Bagian kedua menjelaskan secara detail seni persuasif, yang bertujuan menjelaskan seluruh terminologi dan kemudian membuktikan segala sesuatu yang dapat dibuktikan sesuai definisi terminologi tersebut. Pascal meyakini bahwa metode geometrik sejalan dengan logika dan retorika tradisional.

7.Prayer Asking God for the Right Use of Illness (Priere pour demander a Dieu le bon usage des maladies, 1658)
Pascal memulai tulisan ini dengan meminta anugerah, pertobatan, penyesalan dosa, cinta kasih, dan harapan akan berkat. Pascal memercayai bahwa penyakitnya merupakan hukuman akan perbuatannya di masa lalu, suatu teguran bahwa hal-hal duniawi dapat binasa. Pascal berharap bahwa penyakitnya merupakan gambaran penderitaan Kristus.
8.Writing on the Signing of the Formulary (Ecrit sur la signature du formulaire, 1661)
Pascal mengutarakan tiga cara untuk menjawab dakwaan Paus terhadap Jansenis: tanda tangani dakwaan tersebut, dengan demikian mendakwa Jansenis, Santo Augustinus, dan doktrin anugerah yang mujarab; tanda tangani, tapi eksklusifkan doktrin Jansenis, yang artinya menyelamatkan Jansenis dan anugerah yang mujarab; atau tanda tangani tanpa menjelaskan doktrin mana yang tidak berguna dan dianggap menjijikkan.

Referensi:
Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Penerbit Kanisius
Buletin Elektronik Biografi Kristiani Edisi 007, Februari 2007. Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
http://keluargapelajarjambi.blogspot.com/Sepercik Blaise Pascal (1623-1662), post on Agustus 7, 2009
Dr. Harry Hamersma, 1983, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern.